Thursday, September 10, 2009

Suku Kaum Bugis

Suku Kaum Bugis

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.

Dari aspek sosial, suku kaum ini lebih terkenal dengan kerabat pangkat diraja (keturunan dara), mementingkan soal status individu dan persaudaraan sesama keluarga. Dari segi perkahwinan,suku kaum ini lebih suka menjalinkan perkahwinan dengan keluarga terdekat dan perceraian pula merupakan hubungan sosial yang amat tidak disukai oleh suku kaum ini kerana ia meruntuhkan hubungan kekeluargaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Pakaian tradisional suku kaum Bugis.

Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

Aksara Bugis.

Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.

Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.

Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.

Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.

Di antara tarian-tarian suku kaum Bugis.

Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :

- "...aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge…”.

Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki ).

- "...naia riasengage’ to warrani maperengnge’ nare’kko moloio roppo-roppo ri laommu, rewe’ko paimeng sappa laleng molai…”.

Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.

Dipetik dari Kertas Projek Penyelidikan "Penglibatan Politik Suku Kaum Bugis Satu Kes Kajian di N.46 Merotai, Tawau" oleh Nordin Bula.
Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

"Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja," kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

"Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase," paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

"Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru," katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`

Sumber : Antara



Baca Artikel Selengkapnya..!


Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.



Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi. Mengapa saya suka ? karena saya orang bugis… hehehe.. :) . Sebenarnya bukan karena itu, tetapi lebih kepada faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas.. Wong rumahnya tinggi, hehehe

Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.. simple kan. :)


Baca Artikel Selengkapnya..!

SEJARAH BUGIS DI MALAYSIA



Salasilah Keturunan BUGIS di Malaysia
Salasilah Keturunan DAENG CHELAK
Salasilah Kesultanan Selangor
Sultan Salehuddin (Raja Lumu - 1742-1778)
Sultan Ibrahim (1778-1826)
Sultan Muhamad (1826-1857) dan kesultanan Selangor seterusnya.



Rujukan salasilah

Raja Kechil, yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah adalah pemerintah awal wilayah Johor, Pahang, Riau, and Linggi. Pada mulanya bertapak di Johor, kemudian Riau, selepas itu apabila baginda membuat keputusan untuk menetap di Siak Sumatra, Daeng Loklok yang bergelar Bendahara Husain ingin mengambil alih pemerentahan Johor tetapi tidak dipersetujui oleh Raja Kechil. Bendahara Husain kemudiannya menemui Raja Sulaiman, putra Almarhum Sultan Kuala Pahang bagi menggunakan pengaruh baginda untuk mendapatkan bantuan 5 beradik Raja Bugis; Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Merewah, Daeng Chelak and Daeng Kemasi bagi tujuan tersebut.

Sebaik sahaja Raja Bugis menerima utusan dari Raja Sulaiman, angkatan tentera Bugis terus datang dengan 7 buah kapal perang menuju ke Riau. Raja Kechil telah ditumpaskan di Riau dan melarikan diri ke Lingga dalam tahun Hijrah 1134. Sebagai balasan, Raja Sulaiman telah bersetuju permintaan Raja Bugis dimana mereka mahukan supaya raja-raja Bugis dilantik sebagai Yamtuan Besar atau Yang Di-Pertuan Muda, bagi memerintah Johor, Riau and Lingga secara bersama jika semuanya dapat ditawan.

Setelah Bugis berjaya menawan Riau, Raja Sulaiman kemudiannya pulang ke Pahang, manakala raja Bugis pula pergi ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera dan senjata untuk terus menyerang Raja Kechil. Semasa peninggalan tersebut, Raja Kechil telah menawan semula Riau semasa raja Bugis masih berada di Selangor.

Setelah mendapat tahu Riau telah ditawan oleh Raja Kechil, Bugis terus kembali dengan 30 buah kapal perang untuk menebus semula Riau, semasa dalam perjalanan menuju ke Riau, mereka telah menawan Linggi (sebuah daerah di Negeri Sembilan) yang dikuasai oleh Raja Kechil. Setelah Raja Kechil mendapat tahu akan penawanan itu, baginda telah datang ke Linggi untuk menyerang balas.

Pehak Bugis telah berpecah dimana 20 buah dari kapal perangnya meneruskan perjalanan menuju ke Riau dan diketuai oleh 3 orang dari mereka. Raja Sulaiman telah datang dari Pahang dan turut serta memberi bantuan untuk menawan semula Riau. Dalam peperangan ini mereka telah berjaya menawan kembali Riau dimana kemudiannya Raja Sulaiman dan Bugis telah mendirikan kerajaan bersama.

Setelah mengetahui penawanan Riau tersebut, Raja Kechil kembali ke Siak kerana baginda juga telah gagal menawan semula Linggi dari tangan Bugis. Hingga kini Linggi telah didiami turun-temurun oleh keturunan Bugis dan bukan daerah Minangkabau.

Pada tahun 1729, Bugis sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak dimasa Raja Kechil ingin memindahkan alat kebesaran DiRaja Johor (Sebuah Meriam) ke Siak. Setelah mengambil semula kebesaran DiRaja tersebut, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, and Linggi.

Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuannya Tengku Tengah pula dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mana telah mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kechil disana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman Tengku Mandak dikahwinkan dengan Daeng Chelak ( 1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau 1730an. Kemudian anak Daeng Parani, Daeng Kemboja dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).

Anak Daeng Chelak, Raja Haji dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau dimana baginda telah hampir dapat menawan Melaka dari tangan Belanda dalam tahun 1784 tetapi akhirnya baginda mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda telah dikenali sebagai Al-Marhum Telok Ketapang.

Dalam tahun 1730an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik dengan Raja Siak mengacau ketenteraman Selangor.

Ini menjadikan Daeng Chelak datang ke Kuala Selangor dengan angkatan perang dari Riau. Daeng Mateko dapat dikalahkan kemudiannya beliau lari ke Siak. Dari semenjak itulah daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor. Lalu berkahwin dengan Daeng Masik Arang Pala kemudian dibawa ke Riau.

Ketika Daeng Chelak berada di Kuala Selangor penduduk Kuala Selangor memohon kepada beliau supaya terus menetap di situ sahaja. Walau bagaimana pun Daeng Chelak telah menamakan salah seorang daripada puteranya iaitu Raja Lumu datang ke Kuala Selangor. Waktu inilah datang rombongan anak buahnya dari Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau dan mangkat dalam tahun 1745.

Sultan Salehuddin (Raja Lumu - 1742-1778)

Raja Lumu adalah punca kesultanan awal di Kuala Selangor. Raja Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Selangor pertama, Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.

Berita yang mengatakan Raja Lumu anak Daeng Chelak dari Bugis menjadi Yang DiPertuan Selangor sampai kepengetahuan Sultan Muzaffar Shah di Perak, ketika itu bersemayam di Beruas.

Sultan Muzaffar Shah pun menghantar utusan untuk mempersilakan Raja Lumu barangkat ke Kuala Bernam sebagai pertemuan dengan baginda.

Ketibaan Raja Lumu disambut dengan penuh istiadat raja besar-besaran dengan pukulan nobat dan tiupan nefiri. Acara ini dilakukan dengan tujuan sebagai ujian kepada Raja Lumu, adakah beliau benar-benar berketurunan raja yang berdaulat.

Setelah semua ujian itu tidak mendatangkan apa-apa bencana terhadap Raja Lumu, baginda Sultan Muzaffar Shah pun mengesahkan perlantikan tersebut. Seterusnya dinobatkan dan bergelar Sultan Salehuddin Shah, sementara Daeng Loklok digelar Datuk Maharaja Lela Husain.

Pertabalan penuh sejarah itu dilakukan di Pulau Pangkor dalam tahun 1756. Selesai sahaja pertabalan, Sultan Salehuddin Shah pulang ke Kuala Selangor. Itulah Sultan Selangor yang pertama bersemayam di atas Bukit Selangor yang dikenal dengan nama Bukit Malawati.

Menurut Tuffatul al Nafis karangan Almarhum Raja Ali Al Haji, Riau, disitu ketika Tengku Raja Selangor (Raja Lumu) pergi bermain ke Pulau Pangkor, Raja Lumu dijemput oleh Yang DiPertuan Perak untuk mengadap.

Dalam perundingan di antara kedua pihak itu bersetuju melantik Tengku Raja Selangor menjadi Yang DiPertuan Besar Selangor digelar Sultan Salehuddin. Kemudian Sultan Salehuddin pun berangkat pulang ke Kuala Selangor diiringi sendiri oleh Yang Dipertuan Besar Perak.

Setelah sampai ke Kuala Selangor Sultan Salehuddin pun ditabalkan dihadapan rakyak Selangor dengan penuh istiadat. Dari sejak itu antara keduanya menjadi sahabat baik sentiasa berutusan.

Kemangkatan Sultan salehuddin meninggalkan empat orang anak iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah.

Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar Datuk Maharaja Lela Husain. Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Sultan Selangor kedua.

Sultan Salehuddin mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan Marhum Salleh. Baginda memerintah kerajaan dari tahun 1743 (1756) hingga 1778 .

Sultan Ibrahim (1778-1826)

Raja Ibrahim putera sulong Sultan Salehuddin dilantik menjadi Sultan Selangor kedua, adiknya Raja Nala dilantik menjadi Raja Muda dan dua orang yang lain menhadi Orang Besar bergelar di Selangor.

Sultan Ibrahim dianggap seorang sultan yang berani berhati waja di samping mempunyai pengalaman yang melalui percampurannya semasa dari kanak-kanak lagi.

Bunga peperangan dan perang kecil sentiasa berlaku antara orang Bugis dengan orang Belanda sejak tahun 1740an lagi. Api ini terus menyala selepas 14hb. January, 1784. Peperangan inilah yang mengakibatkan mangkatnya Raja Haji oleh Belanda, kemudiannya dimakamkan di Teluk Ketapang digelar Marhum Ketapang.

pertahanan.jpg (43532 bytes)Kemangkatan Raja Haji menimbulkan kemarahan Sultan Ibrahim menyebabkan Selangor terlibat secara langsung dari persengkitaan antara Belanda dengan Johor itu. Sebagai persiapan berjaga-jaga dari serangan Belanda terhadap Selangor, Sultan Ibrahim telah membina dua buah kota. Kota batu atas Bukit Selangor dan kota tanah di atas Bukit Tanjung.

Sangkaan ini tepat, pada 2hb. Ogos, 1784, Belanda meyerang dan menakluki kedua-duanya kota tadi. Sultan Ibrahim dengan orang-orangnya lari ke Ulu Selangor,lalu ke Pahang menemui Bendehara Ab. Majid meminta bantuan. Semasa di Pahang Sultan Ibrahim sempat berkahwin dengan Tun Selamah, anak Bendahara Ab. Majid.

Selama Belanda di Kuala Selangor dia telah memperbaiki kota batu di Bukit Selangor.Diberinya nama Kota Altings burg sempena nama Gebenor Jeneral Belanda pada masa itu.

Begitu juga kota tanah di Bukit Tanjung dinamakan Kota Utrecht iaitu mengikut nama kapal Jacob Pieter van Braam, kemudiannya kota ini dipanggil Kota Belanda oleh Orang Melayu.

Pada 27hb.Jun, 1785, angkatan Sultan Ibrahim berjaya menghalau Belanda yang berada di Kuala Selangor.

Akhirnya pada 27hb. Oktober, 1826 Sultan Ibrahim mangkat kemudiannya dimakamkan di atas Bukit Selangor.

Almarhum meninggalkan 12 orang putera dan 9 orang puteri. Mereka-mereka itu Raja Muhamad (Sultan Selangor III), Raja Ismail, Raja Yusof, Raja Siah, Raja Siti, Raja Aminah, Raja Fatimah, Raja Mariam, Raja Maimunah, Raja Khatijah, Raja Halijah, Raja Abdullah, Raja Haji, Raja Abd Rahman, Raja Abbas, Raja Salleh, Raja Hussin, Raja Usoh, Raja Hamidah dan Raja Said.

Hatta, bermulalah sejarah keturunan Bugis yang bertapak di Kuala Selangor dari keturunan Daeng Chelak.


Sultan Muhamad (1826-1857)

Sejarah seterusnya setelah Sultan Ibrahim mangkat, Raja Muhamad ditabalkan sebagai Sultan Selangor ketiga.

Raja Muhamad ( Sultan Selangor III )

Wednesday, September 9, 2009

The Bugis are the most numerous of the three major linguistic and ethnic groups of South Sulawesi, the southwestern province of Sulawesi, Indonesia's third largest island. Although many Bugis live in the large port cities of Makassar and Parepare, the majority are farmers who grow wet rice on the lowland plains to the north and west of the town of Maros. The name Bugis is an exonym which represents an older form of the name; (To) Ugi is the endonym.

The Bugis speak a distinct regional language in addition to Indonesian, called Basa Ugi, Bugis or Buginese. In reality, there are a several dialects, some of which are sufficiently different from others to be considered separate languages. Bugis belongs to the South Sulawesi language group; other members include Makasar, Toraja, Mandar and Enrekang, each being a series of dialects.[1]

In historical European literature, the Bugis have a reputation for being fierce, war-like, and industrious. Honor, status, and rank are of great importance to the Bugis. They are a self-sufficient people who have a positive self-image and are very confident of their own abilities. As the most numerous group in the region (more than 5 million), they have had considerable influence on their neighbors.

History

[edit] Homeland

The homeland of the Bugis is the area around Lake Tempe and Lake Sidenreng in the Walennae Depression in the southwest peninsula. It was here that the ancestors of the present-day Bugis settled, probably in the mid- to late second millennium BC. The area is rich in fish and wildlife and the annual fluctuation of Lake Tempe (a reservoir lake for the Bila and Walennae rivers) allows speculative planting of wet rice, while the hills can be farmed by swidden orshifting cultivation, wet rice, gathering and hunting. Around AD 1200 the availability of prestigious imported goods including Chinese and Southeast Asian ceramics and Gujerati print-block textiles, coupled with newly discovered sources of iron ore in Luwu stimulated an agrarian revolution which expanded from the great lakes region into the lowland plains to the east, south and west of the Walennae depression. This led over the next 400 years to the development of the major kingdoms of South Sulawesi, and the social transformation of chiefly societies into hierarchical proto-states.[2]

[edit] In Malay peninsular and Sumatra

The conclusion in 1669 of a protracted civil war led to a diaspora of Bugis and their entry into the politics of peninsular Malaysia and Sumatra. The Bugis played an important role in defeating Jambi and had a huge influence in Sultanate of Johor. Apart from the Malays, another influential faction in Johor at that time was the Minangkabau. Both the Bugis and the Minangkabau realized how the death of Sultan Mahmud II had provided them with the chance to exert power in Johor. Under the leadership of Daeng Parani, the descendants of two families settled on the Linggi and Selangor rivers and became the power behind the Johor throne, with the creation of the office of the Yang Dipertuan Muda (Yam Tuan Muda), or Bugis underking.[3]

[edit] In Northern Australia

Long before European colonialists extended their influence into these waters, the Makasar, the Bajau, and the Bugis built elegant, ocean-going schooners in which they plied the trade routes. Intrepid and doughty, they travelled as far east as the Aru Islands, off New Guinea, where they traded in the skins of birds of paradise and medicinal masoya bark, and to northern Australia, where they exchanged shells, birds'-nests and mother-of-pearl for knives and salt with Aboriginal tribes. The products of the forest and sea that they brought back were avidly sought after in the markets and entrepots of Asia, where the Bugis bartered for opium, silk, cotton, firearms and gunpowder.[citation needed]

The Bugis sailors left their mark and culture on an area of the northern Australian coast which stretches over two thousand kilometers from the Kimberley to the Gulf of Carpentaria. Throughout these parts of northern Australia, there is much evidence of a significant Bugis presence. There are the remains of Bugis buildings on islands, Bugis words have become part of the Aboriginal languages and Bugis men and their craft feature in the indigenous art of the people of Arnhem Land.[citation needed] Each year, the Bugis sailors would sail down on the northwestern monsoon in their wooden pinisi. They would stay in Australian waters for several months to trade and take trepang (or dried sea cucumber) before returning to Makassar on the dry season off shore winds. These trading voyages continued until 1907.[citation needed]

As Thomas Forrest wrote in Voyage from Calcutta, "The Bugis are a high-spirited people: they will not bear ill-usage...They are fond of adventures, emigration, and capable of undertaking the most dangerous enterprises."

[edit] Present Lifestyle

Most present-day Bugis now earn their living as rice farmers, traders or fishermen. Women help with the agricultural cycle and work in the homes. Some women still weave the silk sarongs worn on festive occasions by men and women.

Most Bugis live in stilted houses, sometimes three meters (9 ft) or more off the ground, with plank walls and floors. During growing seasons some family members may reside in little huts dispersed among the fields.

Many of the marriages are still arranged by parents and ideally take place between cousins. A newlywed couple often lives with the wife's family for the first few years of their marriage. Divorce is a fairly common occurrence, particularly when the married couple are still in their teens.

The Bugis' diet consists mainly of rice, maize, fish, chicken, vegetables, fruit and coffee. On festive occasions, goat is served as a special dish. Visual and performing arts, such as dance and recitations of epic poetry have largely been replaced by modern entertainments such as karaoke.

The Bugi culture also recognizes five separate genders that are necessary to keep the world in balance and harmony. These include makkunrai (feminine woman), calabai (feminine man), calalai (masculine female), oroané (masculine man), and bissu (embodying both male and female energies, revered as a shaman).

[edit] Religion

In the early 1600s, the Minangkabau ulema, Dato Ri Bandang, Dato Ri Tiro, and Dato Ri Patimang spread of Islam in South Sulawesi.[4] The Bugis converted from indigenous animistic practices and beliefs to Islam. A few west coast rulers converted to Christianity in the mid-sixteenth century but failure by the Portuguese at Malacca to provide priests meant that this did not last. By 1611, all the Makasar and Bugis kingdoms had converted to Islam, though pockets of animists the Bugis To Lotang at Amparita and the Makasar Konja in Bulukumba persist to this day. Practices originating in the pre-Islamic period also survive, such as ancestor veneration and spirit possession. Though such practice are less inclined to be performed by the current generation as now most are educated in Islam.

[edit] Sea Exploration

Respected as traders and sailors, and feared occasionally as adventurers and pirates, the seafarers of southern Sulawesi looked outwards, seeking their fortunes throughout the Indonesian archipelago. While trade was the seafarers' main goal, the Makasar, Bajau, and Bugis often set up permanent settlements, either through conquest or diplomacy, and marrying into local societies. However, their reputation as seafarers dates to after 1670; most Bugis were, and are, rice farmers.

[edit] References

  1. ^ Mills, R.F. 1975. Proto South Sulawesi and Proto Austronesian phonology. Ph. D thesis, University of Michigan.
  2. ^ Caldwell, I. 1995. 'Power, state and society among the pre-Islamic Bugis.' Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151(3): 394-421; Bulbeck, D. and I. Caldwell 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Hull: Centre for South-East Asian Studies, University of Hull.
  3. ^ "History", Embassy of Malaysia, Seoul
  4. ^ Naim, Mochtar. Merantau.


Bugis
Left to right: Raja Ali Haji, Jusuf Kalla, Indonesian vice president, and B.J. Habibie, former Indonesian president.
Total population
5.0 million (2000 census)
Regions with significant populations
South Sulawesi (Indonesia): 3.4 million
East Kalimantan (Indonesia): 0.4 million
Malaysia: 728,465 a
Singapore
Languages

Bugis, Indonesian, Malay

Religion

Predomatinely Muslim, some animism

Footnotes
a An estimated 3,500,000 claim Bugis descent.
The Bugis are the most numerous of the three major linguistic and ethnic groups of South Sulawesi, the southwestern province of Sulawesi, Indonesia's third largest island. Although many Bugis live in the large port cities of Makassar and Parepare, the majority are farmers who grow wet rice on the lowland plains to the north and west of the town of Maros. The name Bugis is an exonym which represents an older form of the name; (To) Ugi is the endonym.

The Bugis speak a distinct regional language in addition to Indonesian, called Basa Ugi, Bugis or Buginese. In reality, there are a several dialects, some of which are sufficiently different from others to be considered separate languages. Bugis belongs to the South Sulawesi language group; other members include Makasar, Toraja, Mandar and Enrekang, each being a series of dialects.[1]

In historical European literature, the Bugis have a reputation for being fierce, war-like, and industrious. Honor, status, and rank are of great importance to the Bugis. They are a self-sufficient people who have a positive self-image and are very confident of their own abilities. As the most numerous group in the region (more than 5 million), they have had considerable influence on their neighbors.

History

[edit] Homeland

The homeland of the Bugis is the area around Lake Tempe and Lake Sidenreng in the Walennae Depression in the southwest peninsula. It was here that the ancestors of the present-day Bugis settled, probably in the mid- to late second millennium BC. The area is rich in fish and wildlife and the annual fluctuation of Lake Tempe (a reservoir lake for the Bila and Walennae rivers) allows speculative planting of wet rice, while the hills can be farmed by swidden orshifting cultivation, wet rice, gathering and hunting. Around AD 1200 the availability of prestigious imported goods including Chinese and Southeast Asian ceramics and Gujerati print-block textiles, coupled with newly discovered sources of iron ore in Luwu stimulated an agrarian revolution which expanded from the great lakes region into the lowland plains to the east, south and west of the Walennae depression. This led over the next 400 years to the development of the major kingdoms of South Sulawesi, and the social transformation of chiefly societies into hierarchical proto-states.[2]

[edit] In Malay peninsular and Sumatra

The conclusion in 1669 of a protracted civil war led to a diaspora of Bugis and their entry into the politics of peninsular Malaysia and Sumatra. The Bugis played an important role in defeating Jambi and had a huge influence in Sultanate of Johor. Apart from the Malays, another influential faction in Johor at that time was the Minangkabau. Both the Bugis and the Minangkabau realized how the death of Sultan Mahmud II had provided them with the chance to exert power in Johor. Under the leadership of Daeng Parani, the descendants of two families settled on the Linggi and Selangor rivers and became the power behind the Johor throne, with the creation of the office of the Yang Dipertuan Muda (Yam Tuan Muda), or Bugis underking.[3]

[edit] In Northern Australia

Long before European colonialists extended their influence into these waters, the Makasar, the Bajau, and the Bugis built elegant, ocean-going schooners in which they plied the trade routes. Intrepid and doughty, they travelled as far east as the Aru Islands, off New Guinea, where they traded in the skins of birds of paradise and medicinal masoya bark, and to northern Australia, where they exchanged shells, birds'-nests and mother-of-pearl for knives and salt with Aboriginal tribes. The products of the forest and sea that they brought back were avidly sought after in the markets and entrepots of Asia, where the Bugis bartered for opium, silk, cotton, firearms and gunpowder.[citation needed]

The Bugis sailors left their mark and culture on an area of the northern Australian coast which stretches over two thousand kilometers from the Kimberley to the Gulf of Carpentaria. Throughout these parts of northern Australia, there is much evidence of a significant Bugis presence. There are the remains of Bugis buildings on islands, Bugis words have become part of the Aboriginal languages and Bugis men and their craft feature in the indigenous art of the people of Arnhem Land.[citation needed] Each year, the Bugis sailors would sail down on the northwestern monsoon in their wooden pinisi. They would stay in Australian waters for several months to trade and take trepang (or dried sea cucumber) before returning to Makassar on the dry season off shore winds. These trading voyages continued until 1907.[citation needed]

As Thomas Forrest wrote in Voyage from Calcutta, "The Bugis are a high-spirited people: they will not bear ill-usage...They are fond of adventures, emigration, and capable of undertaking the most dangerous enterprises."

[edit] Present Lifestyle

Most present-day Bugis now earn their living as rice farmers, traders or fishermen. Women help with the agricultural cycle and work in the homes. Some women still weave the silk sarongs worn on festive occasions by men and women.

Most Bugis live in stilted houses, sometimes three meters (9 ft) or more off the ground, with plank walls and floors. During growing seasons some family members may reside in little huts dispersed among the fields.

Many of the marriages are still arranged by parents and ideally take place between cousins. A newlywed couple often lives with the wife's family for the first few years of their marriage. Divorce is a fairly common occurrence, particularly when the married couple are still in their teens.

The Bugis' diet consists mainly of rice, maize, fish, chicken, vegetables, fruit and coffee. On festive occasions, goat is served as a special dish. Visual and performing arts, such as dance and recitations of epic poetry have largely been replaced by modern entertainments such as karaoke.

The Bugi culture also recognizes five separate genders that are necessary to keep the world in balance and harmony. These include makkunrai (feminine woman), calabai (feminine man), calalai (masculine female), oroané (masculine man), and bissu (embodying both male and female energies, revered as a shaman).

[edit] Religion

In the early 1600s, the Minangkabau ulema, Dato Ri Bandang, Dato Ri Tiro, and Dato Ri Patimang spread of Islam in South Sulawesi.[4] The Bugis converted from indigenous animistic practices and beliefs to Islam. A few west coast rulers converted to Christianity in the mid-sixteenth century but failure by the Portuguese at Malacca to provide priests meant that this did not last. By 1611, all the Makasar and Bugis kingdoms had converted to Islam, though pockets of animists the Bugis To Lotang at Amparita and the Makasar Konja in Bulukumba persist to this day. Practices originating in the pre-Islamic period also survive, such as ancestor veneration and spirit possession. Though such practice are less inclined to be performed by the current generation as now most are educated in Islam.

[edit] Sea Exploration

Respected as traders and sailors, and feared occasionally as adventurers and pirates, the seafarers of southern Sulawesi looked outwards, seeking their fortunes throughout the Indonesian archipelago. While trade was the seafarers' main goal, the Makasar, Bajau, and Bugis often set up permanent settlements, either through conquest or diplomacy, and marrying into local societies. However, their reputation as seafarers dates to after 1670; most Bugis were, and are, rice farmers.

[edit] References

  1. ^ Mills, R.F. 1975. Proto South Sulawesi and Proto Austronesian phonology. Ph. D thesis, University of Michigan.
  2. ^ Caldwell, I. 1995. 'Power, state and society among the pre-Islamic Bugis.' Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151(3): 394-421; Bulbeck, D. and I. Caldwell 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Hull: Centre for South-East Asian Studies, University of Hull.
  3. ^ "History", Embassy of Malaysia, Seoul
  4. ^ Naim, Mochtar. Merantau.


Bugis
Left to right: Raja Ali Haji, Jusuf Kalla, Indonesian vice president, and B.J. Habibie, former Indonesian president.
Total population
5.0 million (2000 census)
Regions with significant populations
South Sulawesi (Indonesia): 3.4 million
East Kalimantan (Indonesia): 0.4 million
Malaysia: 728,465 a
Singapore
Languages

Bugis, Indonesian, Malay

Religion

Predomatinely Muslim, some animism

Footnotes
a An estimated 3,500,000 claim Bugis descent.